Menakar Proyeksi Perekonomian Indonesia Menuju Indonesia Emas di Tengah Konflik Geopolitik dan Ketidakstabilan Global

Nasional, Opini73 Views

Di tengah hiruk-pikuk konflik geopolitik yang semakin tak terprediksi dan ketidakstabilan dunia yang menjadi realitas baru pasca pandemi COVID-19, Indonesia tengah melangkah menuju ambisi besar: Indonesia Emas 2045. Sebuah visi besar yang menargetkan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi, dengan perekonomian terbesar ke-4 dunia. Namun, di balik visi itu, jalan yang harus dilalui penuh tantangan: mulai dari perang dagang, krisis energi global, fluktuasi harga komoditas, hingga tensi geopolitik seperti konflik Rusia-Ukraina dan ketegangan Tiongkok-AS yang tak kunjung mereda.

Pertama, mari kita berbicara soal potensi. Indonesia saat ini berada pada fase bonus demografi. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023, sekitar 70% dari total penduduk Indonesia berada dalam usia produktif (15-64 tahun). Artinya, ini adalah masa emas untuk menggenjot produktivitas nasional, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, serta mendorong inovasi dan kewirausahaan.
Namun, potensi demografi ini hanya akan menjadi “berkah semu” jika tidak diikuti oleh kebijakan struktural yang menyentuh sektor pendidikan, ketenagakerjaan, dan penguatan UMKM. Data dari World Bank (2024) menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia, terutama dalam hal digital literacy dan vocational skills.

Kondisi Ekonomi Terkini: Stabil Tapi Rentan
Secara makro, ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan relatif. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2024 tercatat sebesar 5,11% (BPS), ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi. Cadangan devisa per Mei 2024 mencapai USD 139 miliar (Bank Indonesia), cukup untuk menutup 6,2 bulan impor. Inflasi juga terjaga di angka 2,84% (year-on-year), berada dalam rentang target Bank Indonesia.

Namun di sisi lain, ketergantungan pada ekspor komoditas mentah masih tinggi. Harga batu bara dan kelapa sawit yang fluktuatif karena dampak dari kebijakan proteksionisme negara lain dan ketegangan geopolitik global membuat neraca dagang rentan goyah. Bahkan, data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke Tiongkok—pasar utama—menurun 8,3% sepanjang semester I 2024 akibat pelemahan permintaan domestik Tiongkok.

Geopolitik dan Risiko Global: Ancaman Nyata
Konflik antara Rusia dan Ukraina belum menemukan jalan damai yang permanen. Dampaknya bukan hanya pada harga energi global yang melonjak, tetapi juga pada rantai pasok pangan dan pupuk. Indonesia sebagai negara importir gandum turut terdampak. Harga tepung naik, dan sektor industri makanan ikut terguncang. Bank Dunia memproyeksikan bahwa ketegangan geopolitik bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi global hingga 1,2% dalam skenario terburuk (Global Economic Prospects, Juni 2024).

Belum lagi ancaman konflik di Laut Cina Selatan yang dapat memengaruhi jalur perdagangan internasional Indonesia. Sekitar 60% ekspor Indonesia melewati kawasan ini. Ketidakpastian global ini, jika tidak diantisipasi dengan diversifikasi pasar dan komoditas, bisa berakibat fatal terhadap stabilitas ekonomi domestik.

Langkah Strategis yang Harus Ditempuh
Menuju Indonesia Emas bukan hanya soal mimpi, tetapi tentang bagaimana negara ini menyikapi tantangan yang bersifat global dengan langkah-langkah konkret dan berani.
Pertama, hilirisasi industri harus dilanjutkan, tetapi dengan pendekatan yang lebih inklusif. Pemerintah telah memulai hilirisasi nikel dan bauksit, namun banyak pelaku usaha kecil dan menengah belum terintegrasi dalam rantai nilai ini. Dibutuhkan skema kemitraan industri yang melibatkan UMKM agar transformasi ekonomi tidak hanya dinikmati segelintir investor besar.

Kedua, reformasi pendidikan dan pelatihan vokasi harus dipercepat. Data Bappenas 2024 menunjukkan bahwa 58% lulusan SMA dan sederajat tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan langsung masuk pasar kerja. Di sinilah pendidikan vokasi berbasis industri memainkan peran vital untuk menciptakan tenaga kerja yang siap pakai, adaptif, dan berdaya saing.

Ketiga, penguatan sektor pertanian dan ketahanan pangan perlu menjadi fokus, terutama dalam konteks geopolitik yang mengancam rantai pasok global. Investasi pada smart farming, modernisasi alat pertanian, dan riset benih lokal menjadi jalan tengah antara modernisasi dan kedaulatan pangan.

Digitalisasi dan Ekonomi Hijau: Kunci Masa Depan
Di era digital dan tekanan lingkungan yang semakin besar, arah ekonomi Indonesia tak bisa lepas dari transformasi hijau dan digital. Proyeksi McKinsey Global Institute menyebutkan bahwa digitalisasi bisa meningkatkan PDB Indonesia hingga USD 150 miliar pada 2030 jika dikelola dengan baik.
Pemerintah telah mendorong transformasi digital melalui program seperti 100 Smart Cities dan Digital Talent Scholarship, tetapi tantangannya adalah ketimpangan infrastruktur digital antara wilayah barat dan timur Indonesia. Tanpa pemerataan, digitalisasi hanya akan memperlebar jurang kemiskinan digital (digital divide).

Sementara itu, sektor energi terbarukan masih menyumbang kurang dari 13% dari total bauran energi nasional (ESDM, 2024). Padahal, komitmen Indonesia dalam Paris Agreement menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025. Tanpa dorongan serius, Indonesia akan tertinggal dalam transisi energi global.

Penutup: Optimisme yang Disertai Kesiapan
Indonesia memang berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, ada momentum demografi, ketahanan ekonomi domestik, dan potensi pasar yang besar. Di sisi lain, ada badai ketidakpastian global yang mengancam stabilitas dan keberlanjutan pertumbuhan.

Menuju Indonesia Emas 2045 bukan perkara teknis semata, tetapi juga soal keberanian mengambil keputusan strategis, konsistensi kebijakan lintas rezim, dan keberpihakan pada rakyat banyak, bukan hanya elite ekonomi. Jika tantangan-tantangan ini dapat dijawab dengan keberanian dan ketegasan, maka cita-cita Indonesia sebagai kekuatan ekonomi global bukanlah ilusi, melainkan keniscayaan yang menunggu diwujudkan.

Author