JAMBYCYBER.ID, KERINCI – Kasus dugaan korupsi pengadaan Penerangan Jalan Umum (PJU) Kabupaten Kerinci kian memanas setelah empat terdakwa, termasuk mantan Kepala Dinas Perhubungan Heri Ciptra, mengajukan nota keberatan (eksepsi) yang secara eksplisit menunjuk anggota DPRD Kerinci sebagai aktor intelektual dan pelaku utama yang mengarahkan proyek.
Tim penasehat hukum terdakwa menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cacat hukum karena menunjukkan adanya inkonsistensi dan praktik penegakan hukum yang tidak objektif, terutama terkait status 12 anggota dewan yang disebut menerima fee dan mendikte proyek, namun hanya berstatus saksi.
Dalam sidang pembacaan eksepsi di pengadilan, Senin (1/12/2025) kemarin, tim penasehat hukum Heri Ciptra, yang diwakili Adithiya Diar, menegaskan bahwa akar persoalan korupsi PJU bukan berada di tangan Kepala Dinas Perhubungan, melainkan di ruang gelap transaksi politik yang digerakkan oleh pimpinan dan anggota DPRD Kerinci periode 2023.
“Surat dakwaan secara terang-terangan membuka tabir dari peristiwa hukum yang akar persoalan bukan berada di tangan Terdakwa selaku Kepala Dinas Perhubungan, melainkan di tangan para anggota DPRD Kabupaten Kerinci aktif pada tahun 2023,” ujar Adithiya.
Eksepsi tersebut memaparkan rangkaian peristiwa yang merujuk pada intervensi dewan, mulai dari penganggaran yang tidak prosedural, kenaikan anggaran DPA secara signifikan tanpa usulan Dishub, hingga pemanggilan Heri Cipta untuk menerima daftar perusahaan titipan yang wajib ditunjuk.
DPRD, menurut tim penasehat hukum, telah memainkan peran kunci dalam mengatur mekanisme pengadaan demi kepentingan pribadi mereka.
“Keseluruhan mekanisme pengadaan tidak bergerak secara alami, tetapi digerakkan oleh Ketua dan beberapa Anggota DPRD Kabupaten Kerinci aktif pada tahun 2023 yang mengatur jalannya proyek demi kepentingan pribadinya,” tambahnya.
Dugaan Selective ProsecutionPoin paling krusial dari eksepsi ini adalah keberatan atas ketidakadilan dalam penetapan tersangka. Pihak terdakwa menyoroti ironi hukum di mana pihak yang disebut dakwaan sebagai pemrakarsa, pengendali, penentu rekanan, dan penerima keuntungan (fee) yakni 12 anggota dewan justru tidak tersentuh hukum.
“Ketidakseimbangan ini menimbulkan dampak hukum serius, dakwaan menjadi tidak konsisten, penuntutan menjadi tidak objektif, dan konstruksi unsur pidana menjadi kabur,” sebut tim penasehat hukum.
Kondisi ini, kata mereka, memunculkan keraguan terhadap integritas penegakan hukum itu sendiri. Tim meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela yang pada pokoknya membatalkan dakwaan dan memerintahkan pembebasan terdakwa. Tuduhan adanya selective prosecution (penegakan hukum yang tidak jujur) menjadi tamparan keras bagi independensi JPU.
Menanggapi eksepsi tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ferdian menyatakan akan menyusun tanggapan tertulis yang akan dibacakan pada sidang 8 Desember 2025.
Terkait status 12 anggota dewan, JPU Ferdian mengonfirmasi bahwa mereka masih berstatus saksi dan akan dipanggil pada saat pembuktian. “Kalau hal tersebut, nanti akan kami buktikan dulu dalam persidangan,” tandasnya.
Edward Aktivitas Kerinci, perwakilan masyarakat sipil, mendesak Kejari Sungai Penuh untuk menunjukkan profesionalisme dan keberanian.
“Kami harap dari pihak Kejari Sungai Penuh memberikan keadilan untuk semua orang. Kejari Sungai Penuh harus tegas dan berani mengambil sikap atas dugaan korupsi PJU di Kabupaten Kerinci dengan adil. Persoalan ini harus dituntaskan sampai ke akar ramput, supaya tidak bias dipublik,” tegas Edward, Kamis (4/12/2025).
Ia juga menambah bahwa ini ialah tuntutan publik agar pihak penegak hukum tidak berhenti pada level pelaksana teknis semata.
Keputusan Majelis Hakim terkait eksepsi ini pada sidang berikutnya akan menjadi penentu apakah dakwaan JPU dapat diteruskan, ataukah kasus ini harus diusut ulang dengan menyertakan pihak-pihak yang disebut sebagai otak di balik skema korupsi proyek PJU Kerinci. (Feng/Ep).
